SAAT itu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam (SAW) belum beranjak dari kediaman Abu Thalib yang baru saja meninggal. Hatinya masih sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Betapa tidak, paman yang selama ini merawat Nabi sejak kecil dan menolongnya dalam urusan agama ternyata mati dalam keadaan kufur. Saudara kandung ayahnya itu mati sedang Nabi sendiri berada tepat di sampingnya menemani ketika ia mengerang dalam sakarat maut.
Bagi Nabi Muhammad hal ini adalah sebuah pukulan yang sangat hebat. Suatu keputusan takdir yang memerihkan hati siapa pun yang mengalami hal tersebut ketika orang yang dicintai “terpaksa” mati dalam kondisi tidak beriman kepada Allah Ta’ala; Ketika apa yang manusia idamkan rupanya tak sejalan dengan keputusan Sang Pemilik kuasa. Namun di saat-saat seperti itulah Allah datang menyapa kekasih-Nya. Allah menunjukkan kuasa-Nya yang tak seorang pun dapat menolak takdir tersebut. Allah menegaskan;
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (al-Qashash [28]: 56).
Continue reading →